Selasa, 28 Januari 2014

Memaknai Hari Suci Siwaratri


CERITA LUBDAKA
Dikisahkan bahwa Lubdaka adalah seorang pemburu binatang hutan yang memakan atau menjual daging hasil buruannya. Pekerjaannya itu dilakukannya setiap hari. Namun, suatu hari, nasibnya sedang apes. Di hari yang apes itu, Lubdaka tidak memperoleh seekor pun binatang untuk dimakan atau dijual. Hal yang lebih malang baginya, karena saking ingin mendapatkan binatang buruan, ia lupa waktu hingga hari sudah gelap. Kegelapan di hutan, membuat Lubdaka tidak bisa mencari jalan untuk pulang. Alhasil, ia pun memilih memutuskan untuk menginap saja di hutan. Untuk itu, ia mencari pohon yang besar untuk tempatnya tidur karena takut terhadap ancaman binatang buas yang akan memangsanya.
Kakinya membawa Lubdaka pada pohon Bila yang di bawahnya terdapat air telaga yang jernih, dengan sebuah pelinggih dan Lingga. Pelan-pelan tapi pasti, Lubdaka memanjat pohon Bila. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Lubdaka bersandar, tapi berusaha tidak tertidur,  walaupun ia mengantuk. Pasalnya, jika ia sampai tertidur pulas, tentu ia bakal terjatuh dan akan menjadi makanan empuk para binatang buas. Didengarnya suara-suara binatang buas dan seisi hutan yang menakutkan. Untuk mengelabuhi rasa takutnya, maka Lubdaka memetik daun-daun pohon Bila dan menjatuhkannya ke bawah, sehingga mengenai Lingga yang ada di bawahnya. Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwalatri, di mana Dewa Siwa tengah melakukan yoga.
Sambil membuang daun-daun pohon Bila ke bawah, tanpa terasa Lubdaka mulai menyesali segala perbuatan jahat yang pernah dilakukannya sepanjang hidup, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Di atas pohon Bila itu, diam-diam hatinya bertekad untuk berhenti bekerja sebagai pemburu.
Lamunan panjang Lubdaka akan dosa-dosanya seolah mempercepat waktu. Rasanya baru sebentar saja Lubdaka melamun, tapi tahu-tahu pagi pun tiba. Itu menggambarkan bahwa dosa-dosa yang pernah dilakukannya sudah terlalu banyak dan tidak bisa diingatnya satu per satu lagi dalam waktu satu malam. Karena sudah pagi, ia berkemas-kemas pulang ke rumahnya.
Sejak hari itu, Lubdaka beralih pekerjaan sebagai petani. Tapi, petani tidak memberinya banyak kegesitan gerak, sehingga tubuhnya mulai kaku dan sakit, yang bertambah parah dari hari ke hari. Hingga, akhirnya hal ini membuat Lubdaka meninggal dunia.
Dikisahkan selanjutnya, roh Lubdaka, setelah lepas dari jasadnya, melayang-layang di angkasa. Roh Lubdaka bingung tidak tahu jalan harus ke mana. Pasukan Cikrabala kemudian datang hendak membawanya ke kawah Candragomuka yang berada di Neraka.
Di saat itulah, Dewa Siwa datang mencegah pasukan Cikrabala membawa roh Lubdaka ke kawah Candragomuka. Di situ, terjadi diskusi antara Dewa Siwa dengan pasukan Cikrabala. Menurut pasukan Cikrabala, roh Lubdaka harus dibawa ke neraka. Ini disebabkan, semasa ia hidup, ia kerap membunuh binatang. Pendapat itu mendapat tanggapan lain dari Dewa Siwa. Menurut Dewa Siwa, walaupun Lubdaka kerap membunuh binatang, tapi pada suatu malam di malam Savalatri, Lubdaka begadang semalam suntuk dan menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga, roh Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan. Singkat cerita, roh Lubdaka akhirnya dibawa ke Siwa Loka.
B. SIWARATRI : MALAM KESADARAN, BUKAN PENEBUSAN DOSA
Kisah Lubdhaka tadi, seorang pemburu yang kemudian berhasil masuk surga rupanya telah mengobsesi sebagian kalangan umat untuk bergiat mengikuti acara malam Siwaratri dengan harapan bisa mengikuti jejak Lubdhaka. Lubdhaka yang meskipun banyak melakukan perbuatan dosa, lantaran ia adalah seorang pembunuh (binatang), namun akhirnya berhasil mencapai surga, sebuah tempat yang selalu menjadi impian umat untuk dicapai setelah kematian menjemput.
Pemahaman yang demikian dangkal inilah yang tampaknya membuat kesalahkaprahan terhadap arti dan makna hari suci Siwaratri yang tahun ini akan dilaksanakan 22 Januari mendatang. Kebanyakan umat Hindu (awam), akhirnya berkembang menjadi pendapat umum, bahwa Siwaratri dianggap sebagai malam penebusan dosa. Padahal secara harfiah, arti kata Siwaratri, lengkapnya Siwaratri Kalpa adalah sebagai malam penghormatan Siwa yang sepatutnya dimaknai sebagai malam kesadaran (tan mrema, tan aturu) bukan sekadar begadang semalam suntuk lalu berharap segala dosa ditebus, kemudian setelah ajal menjemput surga menyambut.
Alur cerita Siwaratri yang menampilkan gambaran hidup Lubdaka yang adalah seorang pemburu lalu masuk surga, mengesankan betapa dosa itu bisa dengan mudah ditebus oleh seseorang yang keseharian hidupnya terbiasa merlakukan Himsa Karma, membunuh binatang yang hakikatnya makhluk hidup juga. Jika disimak lebih dalam makna satwa (kebenaran) dibalik satua (penceritaan) Siwaratri, didapat pemahaman, sesungguhnya semua kisah lengkap tentang perjalanan hidup Lubdaka, adalah gambaran tentang kehidupan kita, yang diingatkan untuk selalu berikhtiar mencari dan akhirnya menemukan Sang Jati Diri (atutur ikang atma ri jatinya) sebagai jalan mencapai Sang Mulajadi, Tuhan itu sendiri.
Jati diri sebagai homo religious yang senantiasa dituntun sekaligus dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan kualitas diri, lahir bathin : material spiritual. Karena itu kisah perjalanan Lubdaka sebenarnya merupakan episode kehidupan manusia yang pada akhirnya harus kembali kepada-Nya dengan cara pelan tapi pasti agar meninggalkan kehidupan duniawi yang diikat raga (indria) dan selalu berbuah papa (hina, sengsara). Itulah sebabnya Lubdaka digambarkan pergi meninggalkan rumah, anak dan istri menuju ke hutan jauh dari keramaian dunia yang akrab dengan keinginan duniawi. Harapannya agar ia menemukan marga satwa (jalan kebenaran) dalam usahanya membunuh (sifat-sifat) kehewaniannya.
Oleh karena kapetengan (kemalaman), sebagai gambaran bahwa ia masih diliputi kegelapan (kebodohan/ketidaksadaran), maka Lubdaka menaiki sebuah pohon Bilwa (Bila), sebagai pertanda bahwa ia hendak meningkatkan kualitas dirinya, terutama rohani/spiritualnya. Agar tetap dalam keadaan terjaga (jagra), ia memetik-metik daun Bilwa, sebagai isyarat ia dengan tekun dan disiplin serta penuh konsentrasi mencurahkan rasa bhaktinya agar tetap dalam keadaan eling ring raga (berkesadaran).
Setiap bagian perbuatan Lubdhaka itu sebenarnya merupakan fragmentasi betapa pentingnya ”pengisian diri” dengan berbagai jnana (pengetahuan/widya) agar menjadi wijnana (bijaksana) yang disimbolisasikan dengan memetik daun (lambang media aksara/ilmu). Selanjutnya menjadi bekal moral meningkatkan kesadaran spiritual, sehingga memudahkan pencapaian obsesi ”persatuan” dengan Siwa, sebagaimana dilukiskan Lubdhaka bersamaan/bersatu dalam Yoganya Siwa yang membuatnya patut mendapat anugerah Siwaloka (surga).
Surga yang akhirnya berhasil dicapai Lubdaka sejatinya pembuktian bahwa siapapun umat manusia meski dalam keseharian hidupnya penuh dengan gelimangan dosa. Jika timbul kesadaran untuk merubah dan kemudian memperbaiki diri agar menjadi lebih berkualitas, jasmani-rohani atau material-spiritual, maka pahala surga siap menanti untuk dinikmati. Namun patut disadari, persoalan pencapaian obsesi surga tidaklah semudah sebagaimana digambarkan lewat ”kisah satu malam” Lubdhaka yang kemudian mengantarkannya meraih tiket surga. Bagaimanapun juga, semua bentuk pencapaian, pasti dibarengi dengan perjuangan sekaligus pembelajaran, syukur-syukur mendapat pencerahan guna mencapai kesadaran sampai akhirnya mencapai titik puncak kebahagiaan atau keabadian di alam-Nya.
Dalam konteks apa yang dilakukan atau ditiru oleh umat Hindu kebanyakan, lebih-lebih dari kalangan kawula mudanya dengan menafsirkan malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa, sesungguhnya merupakan sebuah kesalahkaprahan sekaligus bentuk penyimpangan terhadap arti dan makna hari suci Siwaratri. Apalagi kemudian dengan alasan majagra begadang semalam suntuk membuat kegiatan/acara yang keluar dari konteks ritual Siwaratri itu. Misalnya bepergian, terkadang berpasang-pasangan ke tempat-tempat sepi di malam hari seperti ke pantai atau lokasi lain yang dipandang aman dari pengawasan. Entah apa yang kemudian dilakukan anak-anak generasi muda Hindu tersebut, yang pasti maksud hati hendak bermalam Siwaratri dengan harapan menebus dosa kenyataannya malah semakin menambah dosa.
Tujuan utama Siwaratri untuk melebur atau melenyapkan (mapralina) kegelapan hati agar mencapai pencerahan dan kesadaran akhirnya berujung pada semakin jatuhnya kualitas diri manusia dari berstatus Manawa (manusia) yang seharurnya meningkat ke level Madawa (Dewa) justru menjelmakan karakter Danawa (raksasa), yang tentu saja semakin menjerumuskan manusia ke lembah dosa sekaligus menjauh dari surga.
C. TATA CARA PELAKSANAAN UPACARA SIWALATRI
1. Pengertian.
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.
2. Waktu Pelaksanaan.
Siwarâtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu), biasanya pada bulan Januari (Tahun Masehi).
3. Brata Siwarâtri.
Brata Siwarâtri terdiri dari:
  1. Utama, melaksanakan:
    1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
    2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
    3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
  2. Madhya, melaksanakan:
    1. Upawasa.
    2. Jagra.
  3. Nista, hanya melaksanakan:
    -   Jagra.
4. Tata cara melaksanakan Upacara Siwarâtri.
  1. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
  2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
    1. Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
    2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
    3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
    4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
      - Sang Hyang Siwa.
      - Dewa Samodaya.
      Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
    5. Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.
      Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
      Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
      Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
    6. Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.